My Love,
Exact2....
Jadi teringat saat pertama kali masuk IPA2. Banyak sekali pikiran fay yang menggurita akan kecemasan yang mungkin takkan terduga-duga. Asal tau ja, fay kaga pernah mikir bakalan kaya gini. dalam hati fay, dengan setulus hati fay. fay bilang, " Fay sayang Exact2". Fay udah nganggep kalian keluarha fay. palagi fay rumah'y jauh. jadi, kalian tuh kaya pelabuhan hati fay gitu deh. ini bukan'y acara ngegombal ato acara geer-geeran. Tapi,
Fay kaga mao pisah ma kalian. Palagi waktu hari ceria kemarin, beneran deh! Fay bangga bgd,,,meskipun katanya sekarang kita lagi kaga akur. tapi akuw yakin, ni bukan kesengajaan. kaga mungkin kita slalu di atas. kaga pa'', fay siap nunggu kebahagiaan berlabuh di rumah ipa2 lagi. fay seneng bgd wktu acara ESQ an wktu tu. kalian legowo bgd, sling memaafkan, kaga nyalahin orang laen. fay pgen kaya gtu. seandainya nti kls3 dipisah gmana y?? kalo misalnya dengan kaya gitu kita sekeluarga bsa PMDK. Fay ikhlas dan ridho. itu yang memang d pgenin ma mpam, hfsah, n nak'' laen. padahal ju''r, fay mah mending SPMB ja. dri pada musti pisah ma ipa2. fay kaga mau!!!!!
Senin, 22 Desember 2008
Menakjubkan!
SUNGGUH tak disangka. Sebuah ungkapan terdalam Q Smart terhadap Bapak dan Ibu Presiden bisa bertatap muka dari dekat, mencium tangan, hingga mendapat pelukan dari sang ibu. memang terkesan sederhana dan biasa, namun untuk bisa melakukan hal itu, kami harus menerjang masa dan menembus benteng pertahanan kepresidenan.
Kali pertama bersua dengan beliau adalah sesaat setelah melaksanakan buka puasa menjelang Isya. Saat itu beliau keluar aula untuk berwudlu. Padat sekali. Akan tetapi, entah mengapa jalanan terasa cukup longgar. Menyelinap di antara kerumunan, sampai akhirnya raga kami berada di depan beliau.
Tanpa pikir panjang, kami langsung memperkenalkan diri sambil memberikan MP (Majalah Pelajar-red), majalah nasional yang salah satu konstributornya adalah Q Smart.
Dari belakang, terdengar Bu Mia, ajudan Bu Ani Yudhoyono berkata, “Mereka pelajar dari SMA Al Muttaqin, Bu.”
Setelah mendengar ucapan Bu Mia, Ibu Ani tersenyum pada kami. Dan demi mendengarkan apa yang diungkap dan dikatakan kami, beliau memberhentikan jalannya. Lantas kami mencium tangannya dan beliau mengusap kepala. Kami pikir, memperkenalkan diri saja sudah cukup, merasa banyak paspampres yang menyuruh untuk menghentikan tindakan nekat kami.
Kami terdiam. Namun Bapak dan Ibu Presiden tidak juga beranjak melanjutkan perjalanan untuk berwudlu. Tiba-tiba, “Adik mau apa lagi? Atau sudah cukup?”
Sontak kami kaget. Begitu baiknya beliau. Di antara perasaan yang berkecamuk antara kaget, senang, dan bingung, kami ‘todong’ dengan pertanyaan. Memang, kerap kali kami ‘menodong’ narasumber, terutama para tokoh, dengan pertanyaan.
“Bapak, boleh minta pendapatnya tidak mengenai pendidikan yang baik dan bagus untuk diterapkan di Indonesia?” tanya Delia, salah seorang reporter Q Smart.
“Oh, Adik mau wawancara, ya? Nanti saja ya. Sekarang waktunya sudah mepet mau tarawih. Kalau memang sudah cukup, Bapak terima majalahnya. Sukses ya untuk kalian.”
“Iya , Pak. Tidak apa-apa. Terima kasih.”
Beliau berlalu bersama rengrengannya. Sayangnya, diskusi kami yang singkat itu tidak terekam dengan jelas karena fotografer kami ditarik-tarik oleh orang yang berada di belakangnya sehingga kualitas gambarnya pun buruk.
Suasana sepi kembali. Tiba-tiba, salah seorang Paspampres wanita mendatangi kami. “Adik, jangan kayak tadi lagi, ya. Kalau mau wawancara harus mengikuti prosedural terlebih dahulu. Adik harus punya janji sebelumnya.”
“Oh, begitu. Maafkan kami. Seandainya kami memberikan surat secara langsung kepada Pak Presiden bisa tidak? Mungkin pas sahur di Crown atau besok pagi di Ciawi.” tanya kami.
“Sebentar dulu, Dik. Lebih baik bicara dengan pimpinan kami.”
Sesaat Mbak itu pergi dan datang kembali dengan membawa seorang Bapak berbadan tegap dan tinggi besar.
“Adik yang tadi mau wawancara dengan Bapak, ya? Begini, jadwal presiden khan padat. Setiap detiknya itu sangat berharga. Untuk menyelipkan agenda baru seperti tadi itu bisa mengganggu jadwal-jadwal yang lain. Mohon pengertiannya, ya.”
Kami ungkapkan kembali mengenai surat yang ingin kami berikan kepada Bapak dan Ibu Presiden.
“Kalau itu, Adik bisa kirimkan ke alamat istana negara atau kirim sms saja ke 9949. Itu yang membalasnya Bapak langsung. Atau jika ingin langsung sampai ke tangan Bapak dan Ibu, Adik bisa titipkan ke ajudannya. Cari saja Pak Edi. Karena jika dikirimkan lewat pos akan disaring dulu oleh saya.”
“Terima kasih informasinya, Pak.” ujar kami.
***
Sebelum pertemuan kedua, kami sempat bertemu dengan Ibu Mia, ajudan Ibu Presiden. “Bu, kami ingin menyampaikan surat dari kami untuk Bapak dan Ibu. Seandainya diberikan langsung besok saat sahur di Crown atau di Ciawi bisa tidak?” tanya kami.
“Wah, Adik mau ikut juga ke Ciawi? Adik kan harus sekolah. Memangnya adik kelas berapa?” “Iya, kami kan jurnalis. Kelas XI dan kelas X.”
“Berarti kelas dua dan satu ya.”
“Iya. Terus, mengenai surat itu bisa langsung diberikan ke Bapak dan Ibu kan?”
“Oh, kalau itu Adik titipkan saja lewat saya. Nanti saya pasti langsung berikan ke bapak dan ibu kok.”
“Kalau begitu, besok kami titip ya. Terima kasih.”
Paspampres yang sedang berada di sekitar kami hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum.
***
Pertemuan keduas adalah yang paling bersejarah bagi kami. Kala itu terjadi selepas shalat tarawih berjamaah, ketika rombongan segera berangkat menuju Crown Hotel. Masyarakat secara serempak tanpa komando segera membentuk pagar dadakan dengan fasilitas badan mereka.
Kami berhasil menyelinap lewat sela kerumunan yang semakin padat. Awalnya kami berada di seberang mobil bernomor polisi Indonesia 1, namun satu persatu kami berlari mendekat dengan mobil yang terparkir di depan aula ini.
Ibu Presiden terlebih dahulu keluar dan masuk ke mobil. Saat itu Delia yang pertama kali berhasil menuju dekat mobil, langsung berdiri di dekat Pak Bupati dan Pak Gubernur. Saat itu sempat tegur sapa dengan beliau sambil menunggu kedatangan Pak Presiden. Setelah berjabat tangan untuk kedua kalinya, Delia berteriak, “Bapak, kami akan kirim surat untuk Bapak. Mohon balas ya...”
Sambil menyapa masyarakat yang lain, beliau sempatkan untuk berkata, “Iya. Ditunggu ya suratnya. Nanti dibalas.” Seraya tangannya memeragakan menulis.
Sedang dua orang lagi, Faridah dan Riksa berada di samping mobil dan berhadapan langsung dengan Ibu yang sudah duduk di dalam mobil. “Ibu...”, teriak Faridah dan Riksa melihat ajudannya melarang menemui Ibu. Ibu menoleh dan tersenyum.
Langsung saja Faridah menemui beliau dan mencium tangan. “Ibu kapan lagi ke Tasik?” tanya Faridah. Ibu tersenyum seraya bertanya, “Mana dua orang lagi?”
Tak diduga tak disangka, begitu kuatnya memori beliau mengingat kami. Dan yang semakin mengagetkan, beliau keluar dari mobil hanya untuk berfoto bersama kami. Sempat ajudannya melarang karena akan segera berangkat. Namun Ibu menjawab, “Sebentar saja, kok.”
Tiba-tiba Riksa datang. Kami mengabadikan moment tersebut. Beliau bertanya lagi, “Satu orang lagi mana?” Selang beberapa detik, Delia muncul dan langsung mengabadikan kembali saat-saat berharga itu.
Kami dipeluk, dirangkul, dan pipi kami dicium oleh beliau. Ibu berpesan, “Rajin belajar, ya. Jadi orang sukses.” Serentak kami mengamini.
Beberapa warga sempat ada yang mau mengikuti jejak kami. Namun, ajudannya melarang. Kami juga disuruh untuk agak menjauh karena Bapak segera masuk dan itu tandanya mobil segera berangkat.
Lambaian tangan kami mengiringi kepergian beliau. Ibu dan Bapak juga membalas lambaian tangan kami.
Setelah semua rombongan pergi, kami pun segera menuju kembali ke sekolah. Merencanakan untuk hari esok, siapkan surat, dan istirahat. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 lebih.
Namun selama perjalanan, ada satu hal yang agak menjanggal, mengapa Ibu rela keluar lagi dari mobil hanya untuk berjumpa dengan kami (?). Mungkinkah itu sebuah pertanda dan makna tersirat bahwa beliau menitipkan masa depan Indonesia kepada kami, mengingat masalah yang akan dihadapi ke depan akan jauh lebih dasyat dan lebih kompleks dibandingkan saat ini.
Langganan:
Postingan (Atom)